Our Tales


TOA VS ROCKER
Alkisah di kerajaan #LaserSniperOrWhatever tinggallah bangsa Smalane yang hidup tenteram sepanjang tiga masa. Ratu Chibochan memimpin mereka dengan kesuksesan yang luar biasa walaupun baru saja berpisah dengan Raja Gopalchan yang akhirnya kembali berstatus menjadi rakyat jelata setelah menceraikan sang ratu. Kesuksesan Ratu Chibochan terbukti dari kas kerajaan yang tak pernah kosong, warga kerajaan yang menjadi anggota pemilu parlemen nasional, kerajaan terkompak di seluruh bangsa Smalane, dan sebab-sebab lain yang kepanjangan kalau ditulis.
Menindaklanjuti hal tersebut, sebenarnya ada satu ciri khusus kerajaan Sniper. Yakni adanya 3 warga spesialis madya bidang TOA yang hanya bisa dikalahkan oleh sesepuh kerajaan orde Lasso satu tingkat di atas mereka. Mereka adalah putri dari Ibu Ditrisan yang tengah menjelajah hutan rimba dengan Bapak Iwangsan. Kedua orang tua mereka sengaja membiarkan mereka mandiri dengan cara seperti itu.
Fungsi insidental dari ketiga orang itu adalah mengumumkan hal ihwal penting yang berkaitan dengan kelangsungan kerajaan. Mereka disebut Trio TOA. Inilah mereka: Linasan sebagai kakak tertua, Fiosan sebagai kakak kedua, dan Metasan sebagai adik ketiga.
Nah, suatu hari muncullah isu kekacauan massal yang gosipnya disebabkan oleh rocker gila. Entah siapa, tapi yang jelas dia adalah seorang yang memiliki dua kepribadian. Entah bagaimana bentuknya. Tapi bukan Trio TOA namanya kalau belum punya rencana dahsyat yang mengguncang bangsa Smalane.
“Eh, Qaqa’ pertama, gimana itu, si teroris itu?” tanya Metasan kepada kedua kakaknya.
“Tenang aja lah, Met. Semuanya udah kami rencanakan. Tugasmu hanyalah melaksanakan itu. Oke Adikku sayang?” jawab Linasan sambil berkemas-kemas secepat mungkin.
“Lhoh, Qaqa’-Qaqa’ mau ke mana? Kok Adik ditinggal sendiri sih di sini? Nggak kasihan ta?” Kali ini Metasan berharap Fiosan mau menemaninya menumpas si rocker itu. Karena biasanya yang paling peduli dengan dirinya adalah Fiosan. Jarang sekali kakak keduanya itu meninggalkan dirinya.

Fiosan mendesah pelan penuh perasaan. “Oh, maafkan aku ya Adikku sayang. Kali ini aku harus pergi. Sidang dewan nasional akan dimulai dua hari lagi lho. Jadi, aku harus siap di sana sore ini juga. Maaf yah, Metasan. Kami akan kembali secepatnya kok.“ Hibur Fiosan.
“Aku juga harus pergi menemui dewan Pas-Ki. Ada upacara spesial menyambut Presiden bangsa Smalane minggu depan. Ini acara penting, he!” kata Linasan yang sudah mencapai pintu dari kayu pohon ek dan menggeret Fiosan.
“Ah, Metasan. Pesan kami ketika kau berhasil menemukan si rocker itu, jangan sampai kau tergombali dengan kata-katanya! Rencana kita sudah ditempel di sistem pemanas air yang mengalami reaksi eksoterm. Kami berangkat dulu ya, Metasan.... Bye-bye-bye-bye!“ kata Fiosan cepat-cepat kembali sebelum ia lupa.
Metasan hanya bisa melambaikan tangannya yang dipenuhi gelang antik warna-warni warisan Ibu Ditrisan. “Itu adalah jimat pelindung dan pembawa keberuntungan,” kata Ibu Ditrisan dulu, sebelum pergi melancong.
Kini ia bagaikan putri kesepian, meminta tolong pada angin membisikkan kerinduan kepada seseorang yang telah lama dinantinya. Ditambah suasana mendung yang menebarkan wewangian hujan dari alam di sekitarnya. Mulutnya bergerak ke kanan dan ke kiri. Metasan bingung mau melakukan apa.
“Ck, ngapain ya? Qaqa‘ Dan-ce-san kok nggak ke sini-ke sini sih?” Metasan mondar-mandir di kamarnya tak jelas. Keningnya berkerut, ponsel Buburberrinya tak juga berdenging-denging seperti biasanya.
Takut mati kebosanan, Metasan pun berjalan ke pemanas ruangan. Benar saja, di sana ada sehelai kertas yang berisi tulisan tangan Fiosan soal rencana menumpas rocker itu. Metasan terbelalak dengan rencana kedua kakaknya. “Waduh, sudah gila semua Qaqa’ku. Apakah mereka nggak takut kena getahnya buat rencana seperti ini?“
Tok-tok-tok. Tok-tok-tok. Tok-tok-tok.
“Iya. Sebentar…” pintu dari pohon ek itu berderit perlahan. Metasan tampak sangat senang melihat siapa yang datang. Metasan langsung mengajak cowok berkulit sawo matang itu masuk ke pondok kecilnya. “Eh, eh, Metasan... jangan lebai dan alai dong. Jatuh nih lho ntar. Hayo...“ katanya sembari tersenyum kepada Metasan. Siang ini indah, walaupun mendung, biarlah. Yang penting Metasan tetap secerah mentari.

Dan-ce-san itu.... hobi banget sama Strengheld, suka nyanyi rock tapi nadanya tidak mencapai tone yang diharapkan, putra seorang guru besar bangsa Smalane, Tante Wahyusan a.k.a. guru Matetmatitka. Itu masih umumnya, yang khususnya adalah Dan-ce-san = everygirl’s boyfriend di kerajaan #LaserSniperOrWhatever. Bisa ditebak, kalau ada foto-foto narsis memakai kamera Ratu Chibochan, Dan-ce-san dipastikan ada di dalamnya. Walaupun semuanya beranggotakan cewek-cewek narsis (termasuk Trio TOA).
Metasan berkedip-kedip sebentar di dekat meja makan mungilnya. Menata sepasang alat-alat makan untuk mereka berdua. “Kita lunch aja ya. Kan sekarang nggak lagi malam. Jadi nggak bisa dinner. Oke, Qaqa‘?“
“Terserah Adik Metasan aja deh. Kakak Dan-ce-san ikut aja.“
Ditemani mendung, Metasan berdua dengan Dan-ce-san lunch romantis di dapur Metasan. Tak ada kata-kata suram, bingung, letih, dan lelah di hati Metasan. Ia bahagia sekali.“Tuhan... terima kasih atas nikmat yang Kau berikan hari ini. Terima kasih karena telah menjawab doaku.“
Dan-ce-san bingung. Melihat ekspresi kakak tercintanya itu bingung, Metasan sengaja mendiamkannya lima menit. Metasan ingin melihat wajah Dan-ce-san sepuasnya.“Hoi, Metasan. Ngapain ngeliatin aku kaya gitu? Mupeng ya?”
“Ih, GR deh Qaqa’ Dan-ce-san. Siapa juga yang ngeliatin wajahmu.” Sahutnya tersenyum yang disertai pipi kemerahan.
“Terus kenapa senyum-senyum nggak jelas dan menatap wajahku tanpa henti, Metasan? Udah deh ah, nggak usah alai. Biasa aja.“ Rona merah itu juga muncul secara otomatis di wajah maskulin Dan-ce-san. Tapi, demi mencegah hal aneh-aneh, Dan-ce-san pura-pura minum.
“Iya, iya.“ Metasan pun merasa sedikit sebal. Tapi nggak apa-apa kok. Yang penting dia di sini. Menemaniku di saat yang lain pergi. Sambungnya dalam hati. Tak mau suasana menjadi garing, Metasan beranjak dari kursinya dan mengambil kertas rencana menumpas si rocker di heater. “Bentar ya, Qaqa‘, Metasan mau mengambil sesuatu. Jangan pergi dulu.” Dan-ce-san mengangguk dengan muka-muka pengertian.
Kau begitu sempurna. Di mataku kau begitu indah. Kau membuat diriku akan selalu memujamu. Di setiap langkahku, ku kan selalu memikirkan dirimu. Tak bisa kubayangkan, 
hidupku tanpa cintamu... Janganlah kau tinggalkan diriku. Tak kan mampu menghadapi semua. Hanya bersamamu ku akan bisa. Kau adalah darahku. Kau adalah jantungku.
  • Qaqa‘ Linasan calling - Qaqa‘ Linasan calling – layarnya berkedip-kedip.
Metasan malah tambah gimana gitu mendengar lagu itu. Ia mengira lagu itu berbunyi gara-gara tombol pemutar musiknya kepencet, bukannya sadar ada telepon masuk. Sayangnya, ia tak menyadari siapa yang meneleponnya. Hm, cinta itu ternyata bisa meng-koleng-kan orang yah. Jangan ditiru dalam bentuk apapun.
---
Sementara itu, di tengah perjalanan panjang Linasan dan Fiosan di kereta Mercede.
Aduh... Metasan ini ke mana sih? Baru juga ditinggal satu jam. Fiosan, adik kita ini di mana ya?” katanya kepada Fiosan yang asyik membetulkan poninya. Maklum, angin di perjalanan lagi iseng merusak tatanan rambut Fiosan.
Acuh tak acuh, Fiosan menjawab, “Palingan lagi ke kamar mandi Kak. Biarin lah. Lagian, kenapa juga kakak telepon dia secepat ini?” Fiosan melanjutkan ritual penataan rambutnya yang berkibar-kibar. Linasan menatap lurus dirinya. Dalam sekejap, raut Fiosan langsung fokus jika Linasan sudah menatap matanya seperti itu.
Linasan berkata tegas,”Fiosan. Aku baru saja mendapatkan kabar dari seorang teman di Enggok-Enggokan. Katanya si rocker itu mulai bergentayangan di daerah kita. Lha itu lak bahaya. Terus si Metasan itu bisa ta menangani sendirian tanpa kita?“
Kakak, terus apa fungsinya rencana kita yang ditulis di selembar kertas itu. Sudah jelas, Kak! Bisa-bisa. Oh ya, aku jadi inget sesuatu,“ Fiosan kembali enjoy dan kini menata riasannya.
Apa?“
Ini Kak. Nada deringnya Metasan itu lagunya Andry yang judulnya Sempurna.“
Haduh! Anak itu ya... sampai kapan coba, dia mau melupakan kegalauannya dengan Dan-ce-san?“ Linasan menggerutu tak jelas. Ia masih ingat sekali bagaimana beberapa bulan yang lalu Metasan menangis galau gara-gara disakiti hatinya oleh Dan-ce-san.
---

Kursi dari kayu ek di ruang makan Metasan bergeser perlahan. Kedua remaja itu kini duduk di teras berornamen bunga-bunga tepi gunung. Metasan membawa sehelai kertas kotak-kotak yang berisi rencana maut Trio TOA. Gerimis dan teh hangat menemani mereka berdua.
Menurutmu, Qaqa‘ Dan-ce-san, apakah rencana ini tidak gila?“ Metasan melawan suara gerimis dengan volume tingkat 3 yang artinya sama dengan volume tingkat 5 bagi orang normal. Dan-ce-san berpikir kritis. Ya, dia harus bisa dong memberikan statement yang ilmiah sekaligus meyakinkan supaya lebih bergengsi di depan Metasan.
Dan-ce-san mengawali pidato ilmiahnya di depan Metasan dengan mengangguk-angguk sok paham dengan 5 lembar analisis-sintesis yang diberikan kedua kakak Metasan.“Hm... jadi begitu, ya. Lucu juga si rocker ini. Lihat saja ciri-cirinya, Metasan! Di bagian identifikasi personal, ia adalah seorang psikopat yang pandai beralibi. Suka musiknya Strengheld, suka mencuci piring di malam hari, suka mengacau cuciannya cewek-cewek kerajaan #LaserSniperOrWhatever (bahkan Ratu Chibochan!) dan jadi playboy cap kacang garing. Kalau siangnya dia mengacau para warga #LaserSniperOrWhatever yang sedang menuntut ilmu dengan kata makian yang mengenaskan. Kata “Cuye” menjadi trademarknya. Menurutmu sendiri gimana?”
Metasan menanggapinya dengan anggukan pula yang disertai lirikan mata setengah curiga kepada Dan-ce-san. “Qaqa’, ciri-cirinya kok banyak yang mirip denganmu, sih?” katanya sangsi. Bahkan Metasan baru menyadari ketika Dan-ce-san membaca bagian identifikasi itu. Ia tadi kelupaan membacanya karena sepertinya Linasan yang menulisnya. “Kan Qaqa’ juga penggemar Strengheld, terus biasanya juga beralibi.
Terus suka ngomong Cuye juga...”
Dan-ce-san pura-pura tidak peduli dengan Metasan. Ia hanya menyeruput teh hangatnya lalu kembali mengutarakan pendapatnya. “Jangan su’udzon dong, sayang. Masa menyamakan Kakak dengan psikopat.
Perlu kamu tahu ya, aku memang sudah suka Strengheld dari dulu. Dianya aja tiru-tiru. Percaya deh.” Kata-kata terakhir penuh penekanan dan kesungguhan Dan-ce-san. Ekspresi lebih detailnya seperti ini. Asumsikan setiap kamu adalah cewek yang sedang diminta untuk menjadi belahan jiwa seseorang selamanya. Dan cowok kamu itu memegang 
cincin yang sudah siap dimasukkan ke jari manismu. Ekspresi cowok itulah yang mirip dengan muka Dan-ce-san.
Gerimis rintik-rintik kini mulai tergantikan dengan panas mentari lagi. Tapi, sepertinya Metasan masih tak percaya kalau Dan-ce-san bukan rocker yang dimaksud. Entah kenapa tiba-tiba Metasan bimbang. “Ah, positive thinking aja deh. Mana mungkin Qaqa’ Dan-ce-san berbuat begitu pada kami.” Ucapnya pelan sekali, takut Dan-ce-san tersinggung. Tapi namanya TOA, suara sepelan apapun juga masih kedengeran.
Dan-ce-san langsung mrengut tidak jelas.
Well, intinya bagaimanapun Dan-ce-san adalah seseorang yang menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaannya selama ini. Demi melegakan hati kakak tersayangnya, Metasan mengangguk pengertian. Mengangguk dengan mata separuh tertutup, tanda kepahaman akan posisi Dan-ce-san.
Eh.... eh, hayo! Kalian berdua ngapain di sini? Mau tiru-tiru Janji Suci ya? Nggak boleh lhoh ya!” Ayiksan langsung protes begitu lewat di depan mereka, dan menggandeng Wandongsan. Pernyataan judgement itu didukung Wandongsan ala ibu-ibu gosip sok tahu. Cuma bedanya dia masih anak-anak kok. Dua tahun lebih muda dari umur standar penduduk #LaserSniperOrWhatever. “Awas kalau masih diterusin kaya gitu. Entar aku laporin ke Tante Wahyusan!”
Ye... main lapor aja! Emang kita ngapain! Sorry ae, kita nggak kaya JS itu tuh. Kita masih punya malu men!” sahut Metasan dengan volume yang pitchnya melewati kadar normal, alias tingkat 5 lagi.
Kami cewek, bukan cowok!” Ayiksan tak mau kalah sambil mengipasi rambutnya yang baru keramas. Bando telinga kelinci putih yang dipakainya sedikit oleng karena kipasnya menghantam-hantam telinga imut itu. Wandongsan bolak-balik cemas soal bando dengan terus-terusan berkata,”Yiksan, hati-hati bandomu. Pelan-pelan kenapa sih kipasnya.” Katanya panik.
Dan-ce-san berusaha melerai debat kedua cewek berpitch tinggi ini. “He! Udah ta. Metasan, jangan keras-keras dong kalo ngomong. Aku di sebelahmu soalnya. Ini juga, Ayiksan. Nggak tau apa-apa nyemprot aja. Ada apa seh?”

Eh, di sini udah panas nih. Aku duduk sini aja yah bareng kalian. Ya maaf tadi kalo teriak-teriak. Habisnya kalian mencurigakan sih. Aku nggak mau ya, kerajaan ini kena status blackcatdeath gara-gara kalian berdua.” Ayiksan meneruskan komentarnya yang tidak ada sinkronisasinya sama sekali dengan pertanyaan Dan-ce-san, langsung mengambil posisi di samping Metasan. Untunglah dia lebih tenang dari sebelumnya. Wandongsan duduk di sebelah Dan-ce-san, memainkan jarinya di lantai marmer pondokan kecil itu. Metasan melirik tajam ke arah Wandongsan yang tidak sadar dipandangi setajam garpu. Lebih menusuk dan lebih banyak ‘cabangnya’ dari silet, kan?
Wandongsan menatap mereka bertiga satu persatu. Secepat kilat, Metasan mengubah raut wajah curiganya, menjadi seseorang yang penuh minat padanya. Jelas saja, karena hanya Metasan yang dianugerahi kemampuan mengubah mimik wajah tingkat expert dibandaing kedua kakaknya.
Diawali dengan nafas mantap serta sedikit melankolis, Wandongsan berkata,”Teman-teman sekalian, tahukah kalian?”
“Gak tau lah. Kan kamu belum ngasih tau.” jawab Dan-ce-san sembari menggelengkan kepala. Metasan dan Ayiksan ikut angguk-angguk singkat penuh rasa ingin tahu.
“Jadi, begini ceritanya,” pitch tone langsung berubah di skala 8.
“Tahu nggak seh. Tadi, tepatnya jam 6 pagi lebih 23 menit 6 detik, rocker itu ngacak-ngacak cucianku. Duh, mana sekarang musim hujan! Kan nggak setiap saat ada matahari yang baik hati di musim-musim kaya gini gitu lho! Sedih banget ngeliatnya. Cucianku itu ya, dilempar-lempar ke sana kemari ke tanah becek. Udah gitu diinjek-injek lagi pake sabun colek,”
“Itu namanya dia bantuin kamu membersihkan...” timpal Metasan.
“Yo nggak gitu caranya yo! Bikin orang susah aja. Udah gitu ya, nyanyi-nyanyi lagunya siapa itu si... si sengak-sengak itu lho. Apa sih, namanya.” Wandongsan masih belum puas curhat. Ayiksan asyik saja berkipas-kipas ria sambil memulas make up simplenya yang sempat berantakan.
“Strengheld?” sahut Dan-ce-san refleks. Metasan kembali heran. Ia mulai merasa ada yang tak beres dengan Kakak Dan-ce-san tersayangnya. Kenapa Dan-ce-san bisa menjawab 
sebegitu naturalnya dan seakan tahu apapun soal rocker psikopat yang diburunya? Ah, mana mungkin. Tapi, sepertinya aku harus siap-siap menjalankan rencana. Tinggal butuh satu bukti lagi. Batin Metasan dan hebat sekali kali ini dia tak keceplosan.
“Ya! Itu, itu! Uh, kalo ketemu, lihat aja! Kupijek-pijek dia sama tombak dari Banjarbaru! Liat aja ntar!” tangan Wandongsan sudah mengepal-ngepal di udara, siap meninju Dan-ce-san. Secepat kilat pula Dan-ce-san menghindar dari sisi Wandongsan. Mendekat kembali ke Metasan. Aksi ini langsung mendapatkan rasa simpati yang besar dari Metasan. Senyum mereka berdua mengembang.
---
Fiosan dan Linasan masih dalam perjalanan ke Lapteng, kota metropolitan bangsa Smalane yang sangat sibuk di saat-saat seperti ini. Giliran Fiosan yang merasa tidak beres dengan adik bungsunya. Dia yakin, pasti ada apa-apa yang sedang terjadi di pondok kecil mereka. “Kak, aku kok dari tadi nggak enak ya?”
          “Kamu lapar, Fiosan?” tanya Linasan yang sepertinya sudah kehilangan tingkat kefokusan yang disebabkan oleh gangguan telepon ketua dewan Pas-Ki, Aansan. Sepertinya cuma anak itu saja yang terus-terusan meneror Linasan setiap sepuluh menit sekali. Ada apakah dengan Aansan. Biarlah, itu sudah urusan Aansan, Linasan dan keluarganya masing-masing.
Kak, Fiosan nggak lapar. Cuma, itu. Metasan gimana ya? Dia lagi ngapain ya? Benarkah di daerah kita aman, Kak?”
“Sudahlah Fiosan. Kan kamu sendiri yang bilang. Kita udah ngasih panduan manual ya sudah. Ada Mbah Google kok yang siap membantunya. Dia juga punya Buburberri. Tidak perlu diragukan kualitasnya. Tenang aja lah. Fokus aja sama sidangmu nanti.”
          “Kakak sendiri nggak fokus! Gitu nyuruh aku fokus. Sangsi banget sama ucapan Kakak.” Fiosan melongok-longok ke luar kereta.
           “Stop! Jangan banyak bicara. Koleng nih!” pitch Linasan naik menjadi 8, artinya tak mau diganggu gugat kata-katanya.
“Selamat siang, Bu!” kata Fiosan kepada seseorang di kereta sebelah. Orang itu adalah wanita setengah baya yang sudah dikenalnya baik. Beliau adalah Tante Wahyusan. 
             Beliau mengenakan gamis biru muda dipadu dengan kerudung gaul ala HEEJABI yang sedang ngetren tahun ini. Gelang emasnya juga mentereng disesuaikan dengan kelas Matetmatitka yang beliau ajar: yaitu kelas 10. Waw! Ada sepuluh biji gelang emas yang terbagi dua di tangan kanan dan kiri beliau. Linasan pun langsung mengangguk penuh hormat kepada guru sesepuh tersebut.
            “Siang, Bu. Mau ke mana ini? Sepertinya berombongan dengan keluarga.” Kata Linasan basa-basi sebentar untuk menghilangkan kecanggungannya karena tadi sempat berteriak dengan pitch yang tidak terkontrol.
            Tante Wahyusan tersenyum melihat tingkah kedua anak itu. Ia tahu keduanya adalah teman Dan-ce-san. “Ini, Ibu dan keluarga mau ke Laput. Ada pameran di sana. Yah, lumayanlah Nak, bisa cari tempat hiburan. Kalau boleh tanya, kok Metasan nggak diajak juga?” tak lupa ia menanyakan calon menantunya.
            Linasan dan Fiosan saling pandang dan tersenyum. Sepertinya mereka tahu ke mana arah pembicaraan Tante Wahyusan. Fiosan menjawab pertama kali, ”Maaf Bu. Kami berangkat karena ada urusan dinas dengan satuan kerja masing-masing. Sedangkan Metasan merelakan dirinya menjaga pondok mungil kami.”
             “Hehe. Iya, Bu. Maklum, sekarang kan di daerah kami sedang ada teror rocker gila. Jadi deh, semuanya gila. Ada-ada aja kok. Nah, ini adalah waktunya bagi Metasan berperan sebagai pahlawati besar di sini. Kami harap dia sukses melaksanakan amanah yang sangat berat itu.” Tambah Linasan diplomatis. Ia tak mau nilai adiknya jatuh di mata Tante Wahyu.
Seorang cowok maskulin yang getol menatap soal-soal Ujian Kambrige tersenyum di dalam kereta. Ia tak mau identitasnya diungkap di sini.
---
“Cuye!” teriak Dan-ce-san begitu ia memenangkan pertandingan catur antara Ayiksan dengannya. Jelas saja dia menang karena Ayiksan memang lebih takut poninya berantakan tertiup angin yang moody daripada salang langkah. Begitu mudah mengelabui Ayiksan bagi Dan-ce-san.
“Wakwakwakwakwak... Ayiksan kalah... Ayiksan kalah!” Dan-ce-san berhighfive sendirian. Metasan datar dan tak mau meladeni aksinya.

“Dan-ce-san curang ih! Ayiksan mau menang!” Ayiksan memasang muka tak mau kalah. Wandongsan juga ikut menyoraki supaya Dan-ce-san bermain adil.
“Mau menang? Sini dulu,” timpal Dan-ce-san sembari menunjuk pipi kirinya.
Plak! Metasan menampar Dan-ce-san tiba-tiba.
Auh.” Dan-ce-san menoleh lebai. Tapi berikutnya memandang serius ke arah Metasan. (You’re bestfriend-mae kuraki)
Itu akibatnya kalo berani-berani curang sama temen aku! Kamu kira aku nggak tahu apa, kamu siapa?” katanya tegas. Buktinya sudah banyak yang positif. Saatnya menjalankan rencana.
Adik Metasan, ini Kakak Dan-ce-san mu. Sadar, Metasan. Sadar! Inget sama Tuhan,”
Nggak! Aku nggak percaya kamu! Kamu pengkhianat! Kamu pembohong, Dan-ce-san! Kamu tega ya, gituin aku. Lagi!” Metasan kecewa berat dengan Dan-ce-san. Ia benar-benar yakin, bahwa rocker itu adalah tak lain dan tak bukan Dan-ce-san! Ia berteriak dengan pitch yang sangat tinggi, lebih dari level 10. Menggunakan suara semi ultrasonik. Ia ingin memancing suara khas rocker Dan-ce-san.
Dik, jika kamu ingin memastikan apakah seseorang itu adalah rocker, naikkan pitch suaramu hingga puncaknya (ultrasonik).
Dan-ce-san menjadi semakin tidak mengerti dengan jalan pikir Metasan. “Ck, apa sih Metasan! Kamu perlu bukti ta, kalau aku adalah Dan-ce-san? Kamu meragukanku?” amarahnya masih ditahan. Ia tak mau cewek kesayangannya ini dibohongi rocker itu lagi.
“Oke, akan aku buktikan!” tantang Dan-ce-san. Metasan berpikir, inilah klimaks. Ia harap, di sini ia bisa membuktikan bahwa Dan-ce-san adalah si pengacau itu.
Jika ia juga membalasmu dengan pitch serupa, hajar saja dia! Minta bantuan yang lain. Ambil senjata kita: speaker super power TOA di kamar kakak. Sekarang saatnya kau menggunakannya. Fighting. From Linasan dan Fiosan.
Ia mengambil nafas sekuat-kuatnya dan mulai berteriak dengan pitch ultrasonik meninggi. “Dan-ce-san... Elo, gue, end!” tangan Metasan tak lupa beraksi pula.


Ayiksan dan Wandongsan berlari terbirit-birit sembari menutup telinga mereka. Warga #LaserSniperOrWhatever pun sampai menutup telinga mereka dengan headset berkapas setebal minimal 20 cm. Dan-ce-san hanya menggeleng tak percaya dengan ucapan Metasan.
“Metasan, aku tahu ini adalah waktunya bagimu. Terima kasih atas segalanya. Kau sudah membuktikannya, Metasan.” Dan-ce-san mengangkat bahunya sembari tersenyum. Kemudian melangkah menjauh.
Buburberri Metasan berdenging-denging.
Janganlah kau tinggalkan diriku. Tak kan mampu menghadapi semua. Hanya bersamamu ku akan bisa. Kau adalah darahku. Kau adalah jantungku. Kau adalah hidupku, lengkapi diriku. Oh sayangku kau begitu... sayangku kau begitu.... Sempurna! Sempurna...aa...aa...
(4 November 2011)
Special for Hardani Satrio Hutomo & Mentari Zaurasari